Saturday, October 14, 2006

Akhir Perburuan...

Capek...
Selama sebulan ini disibukkan aktivitas penting :
"HUNTING TICKET"
Maklum, perantau harus ngrencanain sebaik2 nya..
Rencana mudik tgl 18 okt sudah fix 2 minggu lalu, setelah dapet tiketnya.
Nah, yang bikin pusing tuh tiket baliknya...karena bos bilang utk mudik beliau dah tutup mata lah...tapi utk balik harus tanggal 30 okt dah aktif kerja...
Dhung...!!!mana belum dapet jatah cuti lagi...maklum blom 1 tahun bekerja di sini.
tapi, ya tiap keadaan ada resikonya...
berhari-hari hunting...tgl 29 okt dapet cadangan. Ada tiket tapi tgl 31. Yah utk persiapan terpaksanya dah, kupesan dulu..time limit tanggal 10 oktober kemarin. Sampe time limit, daftar cadangan belum ada kabar baik, alias aku masih ada di situ. So, daripada gak dapet tiket... aku ambil n bayar tuh tiket tanggal 31. Ah...resikonya :
1. Dimarahin Bos... (pasti suruh ngadep ntar pas masuk pertama)
2. Dipotong tunjangan (hiks...)
3. Dianggep indis ama temen2 (ah...andai mereka tau...)
So...let it flow. Setelah pegang tiket setidaknya dah "nyicil ayem". Sekarang tinggal bagaimana bersiap menyikapi resiko di atas. Pengennya ngomong langsung. Tapi aku gak enak. Bener...
Karena temen2 yang lain dah pada punya tiket tgl 29, pasti lah ada sedikit rasa lain jika aku dibolehin balik tgl 31. N... apa ijin sakit? Waduh...ntar malah sakit beneran gimana? Ijin Nikah? Waduh... Calonnya belum ada... Trus gimana dung...
Let It Flow aja. Setiap orang berikhtiar, insya ALLAH dapet yg terbaik. Jika memang aku gak dapet tiket tgl 29, itulah hasil terbaikku. Yang penting dah berusaha. Buktinya meski harganya mahal kubeli juga. Huff..kenapa ada harga beda sih di momen2 tertentu. Aku dapet tiket 1.305.000. Padahal pas berangkat Juni kemarin, cuma 755.000. Beda banget to...
Dan kalo gak dapet tiket...sementara aku dah berusaha...salah siapa ya?
Dan...
tgl 14oktober. Time Limit Daftar Cadanganku. Aku cek. Sebenernya dah agak pesimis. tapi kucoba aja. Aku datang aja gak bawa duit...n gak bawa tiket tgl 31.
Alhamdulillah. Setelah di cek...ternyata namaku dah masuk daftar penumpang. Kulihat Jam. Pukul 10.30. Wah 1/2 jam lagi time limit abis. Ah...kubayar aja. Meski gak bawa duit tapi kan bawa BNI Card. Beres deh.
Dan Tiket tgl 31, kubatalin besok aja. Ato ada yang mau? Jogja - Manado tanggal 31 Oktober 2006?
Yaaahhh...akhirnya perburuanku selesai sudah.
Semoga perjalananku besok lancar. Amiin

Thursday, October 12, 2006

Words of this day...

Robbi...
bila ku jatuh hati..
Kuingin terbang cepat..
hingga syaithan tak sanggup hinggap...

Tuesday, October 10, 2006

Bukan Negeri Dongeng

Pernah dikirimin teman via milis...
puisi cukup bermakna menurutku...

BUKAN NEGERI DONGENG

Ada Sebuah Impian Menari Di Angan
Mendamba Seorang Putri Cantik Jelita
Penawar Kala Lelah & Penyemangat Kala Malas
Tempat Berlabuh Setelah Berlayar
Dalam Sebuah Rumah Mungil Baiti Jannati

Namun Sadarilah Bahwa Istri Yang Kau Nikahi
Ia Bukanlah Putri Yang Secantik Zulaikha
Tidaklah Seteguh Aisiyah Dan Sepintar Aisyah
Apalagi Semulia Khadijah

Demikian Pula Ia Tidaklah Seikhlas Hajar
Tidaklah Sekuat Asma Dan Seberani Al Khonza
Atau Setabah Fatimah

Ia Adalah Wanita Biasa
Yang Bercita - Cita Menjadi Wanita Ahli Syurga
Agar Bisa Lebih Dekat Dengan Al-Kholiknya

Adalah Kisah Dari Negeri Dongeng
Akan Seorang Puteri Terpingit Di Atas Menara
Mendamba Seorang Pangeran Tampan Berkuda
Yang Membawanya Ke Istana Di Atas Bukit
Bertamankan Bunga - Bunga Cinta

Namun Sadarilah Bahwa Suami Yang Menikahimu
Ia Bukanlah Pangeran Yang Setampan Yusuf
Tidaklah Sehanif Ibrahim Dan Setabah Ayyub
Apalagi Semulia Muhammad.

Demikian Pula Ia Tidaklah Sesederhana Umar
Tidaklah Seberani Ali Dan Seperkasa Khalid
Atau Sepintar Ibnu Abbas

Ia Adalah Lelaki Biasa
Yang Berusaha Memperbaiki Diri
Untuk Lebih Dekat Dengan Robbul Izzati

Thursday, October 05, 2006

Merantau itu Indah

Merantau itu Indah

Salah satu ciri orang yang berakal dan berbudaya adalah tidak akan tinggal seterusnya di satu tempat. Meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengembara itulah bagian dari istirahatnya.

Pergilah engkau dengan penuh keyakinan! Niscaya akan engkau temukan pengganti semua yang engkau tinggalkan.Bekerja keraslah karena hidup akan terasa nikmat setelah bekerja.

Sungguh, aku melihat air yang tergenang dan berhenti, memercikkan bau yang tak sedap. Andaikan saja ia mengalir, maka akan terlihat bening dan sehat. Sebaliknya jika engkau biarkan air itu menggenang maka ia akan mengeluarkan bau tak sedap.

Singa hutan dapat menerkam mangsanya setelah ia tinggalkan sarangnya
Anak Panah tak akan mengenai sasarannya jika tak beranjak dari busurnya

Andaikan mentari berhenti selamanya di tengah langit,
niscaya umat dari ujung barat sampai ujung timur akan bosan kepadanya.

Emas bagaikan debu, sebelum ditambang.
Sedangkan pohon cendana yang masih tertancap di tempatnya tak ubahnya seperti pohon untuk kayu bakar.

Jika engkau tinggalkan tempat kelahirnamu, engkau akan temui derajat mulia di tempat yang baru dan engkau bagaikan emas yang sudah terangkat dari tempatnya.

Pergilah merantau untuk mencari kemuliaan karena dalam perjalanan itu ada lima kegunaan, yaitu: menghilangkan kesedihan, mendapatkan penghidupan, mendapatkan ilmu, mengagungkan jiwa, dan dapat bergaul dengan orang banyak.


(Imam Syafi’i)

Itulah salah satu cara Imam Syafi’i bersyair. Jadi Temans, mari kita ambil hikmahnya :


Menghilangkan Kesedihan
Sebelum ada di tempat baru, kita biasanya kena bad perception, ! Dengan merantau Insya ALLAH akan mendapatkan kegembiraan beraneka ragam. Misalnya persepsi kita itu ternyata salah, kenyataan sebenarnya tidak seburuk persepsi kita.
Atau ternyata kesulitan sebelum merantau yang kita anggap sangat berat terasa ringan dan tak ada artinya saat berjumpa dengan banyak orang yang jauh lebih sulit namun mereka lebih bersemangat.
Dan Kita pun merasa terobati

Mendapatkan Penghidupan
Salah satu faktor pikologis yang membantu kita. Kita akan terpacu untuk bekerja lebih keras untuk mendapatkan penghidupan di tempat baru.

Mendapatkan Ilmu
Banyak ilmu yang akan kita dapatkan sebab di tempat baru kita juga akan menjumpai banyak guru baru. Dan kita bisa berguru pula pada hinaan, pujian, makian, orang pandai, orang bodoh, dan orang sok pandai.
Ambil yang baik dan berguna untuk dirimu, tinggalkan yang buruk.

Mengagungkan Jiwa
Ketika Sahabat Abdurrahman bin Auf merantau dari Makkah ke Madinah, beliau dipersaudarakan dengan konglomerat Sa’ad bin Rabi’ dan ditawari kilau kemilau harta. Abdurrahman bin Auf yang juhud, wara’, jujur, dan baik akhlknya tidak serta merta menerima tawaran itu. Hanya satu permohonannya, tunjukkan jalan menuju ke pasar. Akhirnya Beliau menjadi konglomerat yang sukses.

Bergaul dengan Banyak Orang
“Hai Manusia, sesungguhnya, kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS Al Hujurat [49] :13)
Kita akan bergaul dengan banyak orang dari bermacam-macam suku dan bangsa, dan mengenal aneka karakternya, positif maupun negatif.

Ayo merantau, jangan sampai dari lahir sampai mati berada di tempat yang sama, Kurang Keren Ah…!!! Bagaimana pendapatmu?


*dicukil dari buku “Hidup untuk Hidup”, Masrukhul Amri – DarMIZAN : 2004

Tanyakan pada Qolbumu...

...ternyata...aku pernah juga bikin puisi...
agak kacau gak? Moga gak termasuk golongan puisi Gombal...
kasih pendapat ya...

Tolong Tanyakan Pada Qolbu-mu

Sekilas Putri tampak dalam bayangan anggun dirimu…
Meski malu..
namun kutahu Pangeran-mu sedang kaunanti

Adakah rona wajahmu memberikan persetujuanmu
Untukku…?

Bukan…kuharap bukan rona wajah memerahmu…
Melainkan Qolbumu…

Bersediakah dirimu?
Layakkah diriku…?

Tentu hanya hatimu yang harus menjawabnya..

Bukan tentang hartaku… atau hartamu
Bukan tentang ketampananku… atau kecantikanmu
Bukan tentang Kecakapanku… atau kepandaianmu

Ini tentang celupan-Nya…

Dan kita pun bersama menuju diri-Nya
Sepenuhnya
ketika terwarnai-Nya


- eR - Februari 2006

Uang Setan Dimakan Hantu

Serem ya baca judulnya... tapi baca aja ya...moga bermanfaat bagi kita semua..
Aku terima postingan ini tahun 2005 via milis SMA ku, dan ternyata setahun lebih berlalu ada beberapa hal yang bisa aku dapat dari cerita ini. Dan menjadikanku lebih kuat untuk berusaha meneladaninya.
Semoga ALLAH memberikan keberkahan bagi yang menuliskan kisah ini, dan semoga yang menuliskan kisah ini berkenan kala aku memampangnya di blog ini.
Amiin...
Kisah Seorang Pemeriksa Pajak Melawan Gratifikasi

Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan sekali. Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan.Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung.
Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim. Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsipsatu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya.

Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi.

Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya juga sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau itu konsisten dengan jalan yang kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan selesaikan kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang beberapa kejadian yg kami lami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada istri. Bahwa yg penting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah.
Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga besar misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik-adik dan keluarga. Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang.
Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung ke rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa memahami.

Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh.
Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka.

Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.
Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalu saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mengajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak.

Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak adilnya kalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain.

Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunya anggota tim yang menolak dan meminta agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untukmenjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan. Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabat dan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, “Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik.” Saya katakan, “Tidak munafik bagaimana Pak” Selama ini saya Insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi.” Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kacuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap.

Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau.
Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur.
Ia lalu mengatakan, ?Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai,? katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplop itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu disimpan disebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan.

Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi.

Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, “Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun perkataan kalian.” Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya di auditor, lantas saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun.

Saya mau bicara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahu a’lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas. Alhamdulillah.
Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana? Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, “Kenapa tidak bilang-bilang?” Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah.

Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru.

Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda”Uang setan ya dimakan hantu”
Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti lama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali.

Ada juga di antara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu.

Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau tasan langsung biasanya memberi uang hari Jumat atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jumatan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga.
Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur?an. Tetapi mereka sulit berubah. Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan.

Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN.
Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara.
Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takut menggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca).
Sumber: (Majalah Tarbawi Edisi 111 Th. 7/Jumadil Ula 1426 H/23 Juni 2005)
**ya ALLAH berikanlah kami di sini kekuatan untuk selalu menolak kebatilan....Amiin...
**dan selalu dekatkanlah kami di sini dengan kebaikan