Monday, February 04, 2019

Cuitan Berujung Bui Ahmad Dhani

PENGADILAN Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis satu tahun enam bulan penjara kepada musikus Ahmad Dhani Prasetyo, yang menjadi terdakwa kasus ujaran kebencian, Senin pekan lalu.

foto : TEMPO/Nurdiansyah

Hakim menilai Dhani terbukti dengan sengaja membuat dan menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian kepada kelompok masyarakat tertentu. “Menjatuhkan pidana penjara selama satu setengah tahun dan menetapkan barang bukti dari penuntut umum dirampas untuk dimusnahkan,” kata hakim Ratmoho.

Perkara ini bermula ketika Dhani melalui akun Twitternya mempersoalkan posisi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang diserang isu penistaan agama. “Kalimat sila pertama Ketuhanan YME, penista agama jadi gubernur. Kalian waras? ADP,” cuitan itu dikirim pada saat masa kampanye pemilihan kepala daerah DKI 2017.

Lantaran kicauan itu dianggap mengandung ujaran kebencian, Jack Lapian, pendukung Basuki Tjahaja Purnama dalam pemilihan kepala daerah DKI, melaporkan Dhani ke polisi. Dhani disangkakan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Gerakan Indonesia Raya itu kini mendekam di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur.
Tim penasihat hukum Ahmad Dhani mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis pekan lalu. “Tak ada yang kami takuti. Kami yakin benar,” ujar Ihsan Tambunan, kuasa hukum Dhani.
Dukungan pun mengalir untuk Ahmad Dhani. Calon wakil presiden Sandiaga Uno membesuk Dhani di penjara. Koordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar, mengatakan putusan itu merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. “Itu ancaman serius terhadap demokrasi Indonesia,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai vonis terhadap Ahmad Dhani menunjukkan kesewenang-wenangan hukum pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tapi Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin, Abdul Kadir Karding, mengatakan Dhani adalah korban dari ucapannya sendiri. “Presiden tak pernah mengintervensi hukum,” Karding mengklaim.
Korban Pasal Karet
AHMAD Dhani menjadi salah satu korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sejumlah pihak pernah mendesak revisi pasal karet dalam aturan itu, terutama pasal 27 ayat 3 yang melarang mendistribusikan atau membuat informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama karena bisa disalahgunakan untuk membungkam kritik.
2008
Prita Mulyasari, pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui media online. Prita dihukum membayar denda Rp 204 juta dan di tingkat kasasi dipidana enam bulan.
2010
Musikus Nazriel Irham alias Ariel dijerat dengan pasal berlapis Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pornografi karena merekam video porno yang dituduh diperankan oleh dia dan dua artis perempuan. Pengadilan Negeri Bandung memvonis Ariel tiga setengah tahun penjara.
2013

Muhammad Arsyad, aktivis asal Makassar, dipenjara selama 100 hari di Rumah Tahanan Makassar. Dia dilaporkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar karena menulis pernyataan melalui aplikasi BlackBerry Messenger yang dinilai mencemarkan nama pengusaha Nurdin Halid.
2018
Baiq Nuril Makmun, guru di Mataram, divonis enam bulan penjara dan didenda Rp 500 juta oleh Mahkamah Agung karena diduga menyebarkan rekaman pembicaraan dengan kepala sekolah. Rekaman berisi cerita pengalaman seksual kepala sekolah bersama perempuan yang bukan istrinya itu tersebar hingga ke dinas olahraga. Padahal Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Nuril tak bersalah.
Vonis Dhani dan Kebebasan Berkespresi
Ahmad Dhani Prasetyo adalah korban tindakan penegak hukum yang gegabah dan lenturnya aturan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Musikus dan politikus ini divonis 1 tahun 6 bulan penjara karena dinilai menyebarkan kebencian. Pasal yang menjerat Ahmad Dhani sudah sering dikritik dan seharusnya dihapus karena mencederai kebebasan berpendapat sekaligus merusak demokrasi.
Negara jelas menjamin kebebasan mengemukakan sikap, pikiran, dan pendapat yang diatur dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945. Pendapat bisa disampaikan lewat cara apa pun, termasuk lewat media sosial seperti yang dilakukan Dhani. Menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, ia mencuit di Twitter: “Siapa saja yang dukung Penista Agama adalah Bajingan.…” Cuitan itulah yang menjadi dasar Jack Boyd Lapian—pendiri Basuki Tjahaja Purnama Network—melaporkan Dhani ke polisi sehingga akhirnya masuk bui.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menghukum Dhani semestinya mempertimbangkan ketentuan konstitusi itu dan tidak semata berpegang pada aturan dalam undang-undang yang mudah disalahtafsirkan. Cuitan yang dibaca jutaan warganet itu tentu saja amat tidak sopan dan kasar. Tapi kata-kata politikus Partai Gerindra itu tak otomatis bisa dikategorikan sebagai penyebaran informasi yang mengundang kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan seperti diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE.
Dampak sebuah ujaran kebencian seharusnya menjadi ukuran. Dapatkah penegak hukum membuktikan ucapan Dhani itu benar-benar telah memicu permusuhan sosial? Bukan lantaran pemahaman hukum yang lemah, kurang bijaknya penegak hukum lebih karena soal integritas. Dunia peradilan kita mudah sekali ditekan dan diintervensi pihak luar.
Kasus Dhani semacam balas dendam atas serangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan isu penistaan agama. Perkara Ahok tak hanya membuat ia kalah dalam pemilihan kepala daerah Jakarta, tapi juga membuatnya masuk penjara.
Memangkas pasal yang lentur merupakan salah satu cara mencegah penegak hukum bertindak seenaknya. Kelemahan aturan soal ujaran kebencian dalam Undang-Undang ITE semestinya segara dibenahi. Begitu pula pasal pencemaran nama dalam undang-undang yang sama. Dua pasal ini sering dipakai untuk mengkriminalisasi warga negara. Southeast Asia Freedom of Expression Network mencatat 259 kasus Undang-Undang ITE sepanjang Agustus 2008 -Januari 2019. Lebih dari 90 persen di antara mereka dijerat dengan delik ujaran kebencian dan pencemaran nama.
Revisi Undang-Undang ITE menjadi satu-satunya cara karena beberapa kali pengajuan uji materi oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi selalu ditolak. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh membiarkan pasal itu menjadi momok bagi masyarakat. Selama aturan itu ada, orang akan takut menyampaikan kritik.
Kita semestinya bisa merumuskan dengan lebih gamblang ujaran kasar yang sekadar untuk menekankan sikap atau pendapat dengan ujaran yang benar-benar menyebabkan permusuhan sosial. Jika tak bisa dirumuskan lebih jelas, pasal ujaran kebencian lebih baik dihapus karena mudah disalahgunakan dan terus-menerus memakan korban.


sumber: TEMPO